Senin, 20 Juni 2011 - Sebagian besar produk yang berasal dari kayu tropis merusak hutan dan logo keberlanjutan tidak dapat menjadi panduan yang handal untuk memberi kesadaran hijau. Sementara sebuah laporan minggu ini merayakan 50 persen peningkatan daerah hutan tropis yang diatur secara berkelanjutan, studi lainnya menunjukkan kalau penilaian ini dapat dipertanyakan.
Luas hutan tropis yang diatur secara berkelanjutan naik dari 36 juta hektar di tahun 2005 menjadi 53 juta hektar di tahun 2011, menurut sebuah laporan dari Organisasi Perkayuan Tropis Internasional (ITTO). Namun itu hanya 10 persen dari semua hutan tropis produktif.
“Saya berharap sedikit lebih banyak,” kata Duncan Poore, ilmuan kehutanan Inggris yang memimpin studi 33 negara untuk ITTO, yang anggotanya mencakup sebagian besar negara yang terlibat dalam perdagangan kayu tropis. Di pertengahan 1980an, ketika Poore melakukan penelitian pertama jenis ini, kurang dari 1 persen saja hutan yang diatur secara berkelanjutan.
Namun bisakah kita mempercayai gambaran baru ini? Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) yang bermarkas di Bogor, Indonesia, memperingatkan kalau banyak kayu dijual dengan logo keberlanjutan paling terkenal, dari Forest Stewardship Council, sesungguhnya tidak memenuhi aturan ketat FSC.
Studi CIFOR, yang diterbitkan bulan Desember 2010 kemarin, menemukan kalau hanya tiga dari 10 hutan bersertifikat FSC di Kamerun beroperasi “memakai teknik yang memastikan masa depan penebangan dengan laju yang sama seperti sekarang.” Beberapa pemberi sertifikat komersial, yang dipakai oleh perusahaan-perusahaan kayu, tidak menerapkan aturan FSC dengan ketat sebelum diberi sanksi dalam penggunaan logo FSC, kata penulis Paolo Cerutti. FSC dikendalikan bersama oleh industri perkayuan dan kelompok hijau, termasuk WWF.
Manuel Cuariguata dari CIFOR mengatakan sertifikasi di Brazil sama buruknya. Poore mengatakan kalau saat ini ada beberapa insentif untuk menebang hutan dengan cara tidak menghancurkannya. Sertifikasi itu mahal dan sebagian besar pasar tidak menginginkannya. Sementara itu, masih lebih menguntungkan untuk mengubah hutan menjadi lahan pertanian.
Sumber
New Scientist, 11 Juni 2011.
Comments
Post a Comment
Isi Komentar kamu untuk Posting ini!!