Skip to main content

Korelasi antara Sejarah Hidup Spesies dan Laju Mutasi ditemukan



Rabu, 22 Juni 2011 - Untuk pertama kalinya, para ilmuan menggunakan data barisan DNA skala besar untuk menyelidiki asumsi evolusi yang lama bertahan: laju mutasi DNA dipengaruhi oleh seperangkat sifat sejarah hidup spesifik spesies.
Sifat ini termasuklah laju metabolisme dan selang waktu antara kelahiran individu dan kalaihan anaknya, yang disebut waktu generasi.
Tim peneliti yang dipimpin oleh Kateryna Makova, asisten profesor biologi  Penn State University, dan penulis perdana Melissa Wilson Sayres, mahasiswa pasca sarjana, menggunakan data barisan seluruh genom untuk menguji hipotesis sejarah hidup untuk 32 spesies mamalia, termasuk manusia. Untuk tiap spesies, mereka mempelajari laju mutasi, diperkirakan oleh tingkat substitusi segmen DNA yang berevolusi netral – potongan bahan genetik yang tidak mengalami seleksi alam. Mereka kemudian mengkorelasi perkiraan mereka dalam beberapa indikator sejarah hidup. Hasil penelitiannya kemudian diterbitkan dalam jurnal Evolution tanggal 13 Juni 2011.
Untuk menemukan korelasi antara sejarah hidup dan laju mutasi, para ilmuan berfokus pada waktu generasi pertama-tama. “Hubungan yang diduga antara waktu generasi dan laju mutasi cukup sederhana dan intuitif,” kata Makova. “Semakin banyak generasi yang dimiliki sebuah spesies per satuan waktu, semakin besar kemungkinan sesuatu yang salah terjadi; yaitu, dimana mutasi atau perubahan dalam barisan DNA terjadi.” Makova menjelaskan kalau perbedaan antara tikus dan manusia dapat digunakan untuk menggambarkan bagaimana waktu generasi dapat beranekaragam dari satu spesies ke spesies lain. Di satu sisi, tikus di alam liar biasanya memiliki anak pertamanya hanya enam bulan setelah ia lahir, dan karenanya waktu generasinya sangat singkat. Manusia, di sisi lain, memiliki keturunan ketika mereka setidaknya di masa remaja madya atau bahkan dalam usia dua puluhan, dan karenanya memiliki waktu generasi lebih panjang. “Bila kita menghitung secara matematis kita melihat kalau, buat tikus, setiap 100 tahun setara dengan sekitar 200 generasi, sementara untuk manusia, hanya lima generasi setiap 100 tahun,” kata Makova. Setelah membandingkan 32 spesies mamalia, timnya menemukan kalau indikator sejarah hidup terkuat dan paling signifikan dari laju mutasi adalah, faktanya, waktu rata-rata antara kelahiran anggota spesies dan kelahiran keturunan pertamanya, bertanggung jawab atas 40% variasi laju mutasi sehat pada spesies.
Tim Makova juga menemukan kalau waktu generasi mempengaruhi bias mutasi jantan – lebih besarnya laju mutasi DNA dalam sperma dibandingkan sel telur. “Betina dari sebuah spesies lahir dengan seluruh pasokan osit, atau sel telur, untuk sepanjang usianya. Sel-sel ini harus membelah hanya sekali untuk dapat disuburkan,” jelas Makova. “Walau begitu, jantan dari suatu spesies menghasilkan sperma sepanjang usia reproduksinya, dan dibandingkan dengan sel telur, sel sperma mengalami lebih banyak replikasi DNA – lebih banyak kemungkinan kalau mutasi terjadi.” Para peneliti sebelumnya telah menunjukkan kalau laju mutasi DNA yang tinggi dalam jantan mamalia daripada betina mamalia, fenomena yang disebut bias mutasi jantan. Walau begitu, hingga sekarang, tidak ada yang menunjukkan kalau waktu generasi adalah penentu utama fenomena ini.
Tim Makova juga menemukan kalau, berbeda dengan waktu generasi, laju metabolisme tampaknya hanya merupakan prediktor moderat laju mutasi dan bias mutasi jantan. “Sementara temuan ini tidak seberarti hasil waktu generasi, saya menduga kalau studi lebih lanjut dapat memberi bukti yang lebih kuat kalau laju metabolisme memberi pengaruh penting pada laju mutasi dan bias mutasi jantan,” kata Mukova. Beliau menjelaskan kalau tantangannya adalah menjadikan laju mutasi sebagai faktor terpisah dari waktu generasi. “Kedua faktor ini berkorelasi sangat kuat satu sama lain, jadi sulit mendapatkan cara yang baik untuk mengetahui bagaimana metabolisme dapat bertindak independen dari selang waktu generasi.”
Selain Makova dan Wilson Sayres, penulis makalah ilmiah ini mencakup Chris Venditti dari Universitas Hull di Inggris, dan Mark Pagel dari Universitas Reading di Inggris serta Lembaga Santa Fe di New Mexico. Penelitian didanai oleh National Institutes of Health dan National Science Foundation.
Sumber berita :
Penn State
Referensi Jurnal :

Comments