Skip to main content

PERAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT

Oleh:
Enih Juenih


Hasil hutan kayu telah memberikan kontribusi yang besar bagi devisa Negara Indonesia selama beberapa dekade, oleh karena itu kayu diistilahkan sebagai “major forest product”. Walau demikian, hasil hutan lainnya yang dikenal dengan sebutan hasil hutan bukan kayu (HHBK), terbukti lebih bernilai dari pada kayu dalam jangka panjang (Balick and Mendelsohn 1992, Wollenberg and Nawir 1999). Gupta dan Guleria (1982) melaporkan bahwa, nilai ekspor HHBK Pemerintah India mencapai 63 persen dari total ekspor hasil hutan negara tersebut. Sementara itu, nilai ekspor HHBK Pemerintah Indonesia mencapai US$ 200 juta per tahun (Gillis 1986).
Mengingat pemungutannya tidak memerlukan perizinan yang rumit sebagaimana dalam pemungutan hasil hutan kayu (timber), masyarakat hutan (masyarakat yang tinggal di sekitar hutan) umumnya bebas memungut dan memanfaatkan HHBK dari dalam hutan. Masyarakat tidak dilarang memungut dan memanfaatkan HHBK baik di dalam hutan produksi maupun hutan lindung, kecuali di dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam (Departemen Kehutananan 1990). Oleh karena itu, selain menjadi sumber devisa bagi negara, HHBK seperti rotan, daging binatang, madu, damar, gaharu, getah, berbagai macam minyak tumbuhan, bahan obat-obatan, dan lain sebagainya merupakan sumber penghidupan bagi jutaan masyarakat hutan (Myers 1979; Simpson and Connor-Ogorzaly 1986).
Masyarakat hutan memanfaatkan HHBK baik secara konsumtif (dikonsumsi langsung) seperti binatang buruan, sagu, umbi-umbian, buah-buahan, sayuran, obat-obatan, kayu bakar dan lainnya, maupun secara produktif (dipasarkan untuk memperoleh uang) seperti rotan, damar, gaharu, madu, minyak astiri, dan lainnya (Primack 1993). Di banyak tempat, (Ngakan et al. 2005), masyarakat hutan menggantungkan sebagian besar hidupnya dari memungut HHBK. Namun demikian, sampai saat ini belum banyak dipelajari sejauh mana HHBK memberikan kontribusi terhadap penghidupan masyarakat hutan.
Hasil Hutan bukan Kayu didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang diambil dari hutan untuk dimanfatkan bagi kegiatan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya mengubah haluan pengelolaan hutan dari timber extraction menuju sustainable forest management, hasil hutan bukan kayu (HHBK) atau Non Timber Forest Products (NTFP) memiliki nilai yang sangat strategis. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan bersinggungan langsung dengan masyarakat sekitar hutan.
Dari 220 juta penduduk Indonesia, sekitar 48,8 juta jiwa tinggal disekitar hutan. 10,2 juta jiwa diantaranya hidup dibawah garis kemiskinan. Secara tradisi, mayoritas dari mereka menggantungkan hidup dari sumberdaya hutan, baik kayu maupun bukan kayu (rotan, madu, gaharu, damar, bambu,dsb). Dengan adanya HHBK serta pemahaman yang mantap terhadap masyarakat memungkinkannya untuk dapat mengembangkan taraf hidup secara ekonomi maupun social dengan pendekatan yang lebih berkesinambungan.
Masyarakat di sekitar hutan umumnya mengelola dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu sesuai kebutuhan. Ada kelompok masyarakat yang menggunakannya untuk keperluan subsisten, dikonsumsi sendiri. Masyarakat yang tinggal di danau pasang surut Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat, misalnya. Mereka memanfaatkan ikan danau sebagai sumber protein sehari-hari. Atau masyarakat Dayak di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan yang memanfaatkan sayur-sayuran dari ladangnya. Lebih lanjut, beberapa jenis hasil hutan ini memiliki nilai budaya dan ritual yang penting bagi masyarakat. Kebun rotan misalnya jamak dijadikan sebagai mas kawin di wilayah Katingan, Kalimantan Tengah. Tanaman obat tertentu seperti pasak bumi dan madu, juga banyak dipakai untuk tujuan kesehatan.
Selain itu, ada pula masyarakat yang memanfaatkan hasil hutan bukan kayu sebagai sumber mata pencaharian dengan cara memperdagangkan. Rotan di Kalimantan Tengah misalnya, sudah dibudidayakan dan diperdagangkan paling tidak sejak 1800-an. Menurut CIFOR, lebih dari 50 ribu petani menggantungkan hidupnya pada tanaman merambat ini. Madu dan lilin lebah di Danau Sentarum juga diperdagangkan masyarakat di taman nasional yang terletak di utara Kalimantan Barat ini sejak awal 1800-an. Gula aren di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur, secara turun temurun telah menopang hidup banyak keluarga. Demikian pula halnya damar, karet dan kayu manis di pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan serta gaharu di Kalimantan Timur.
Dengan diketahuinya potensi HHBK di Indonesia, menjadikan salah satu pertimbangan bagi pemerintah dalam perhatiannya pada kesejahteraan masyarakat secara ekonomi, social maupun ekologi. Dengan tergantikannya manfaat kayu secara ekonomi, memberikan peluang bagi Negara dalam mengembangkan sector usahanya dalam pemanfaatan hutan yang lebih maksimal. Oleh sebab itu, HHBK memberikan peran ganda bagi masyarakat dan Negara. Sehingga, solusi produktifitas hutan yang saat ini sedang mengalami krisis dapat terpecahkan dengan syarat pengembangan di sector hasil pengganti kayu dapat lebih di kembangkan lagi.
Terkait dengan potensi yang cukup tinggi dari HHBK, yang belum termanfaatkan secara optimal maka diperlukan penanganan yang lebih intensif dan terencana serta melibatkan seluruh pihak terkait. Pengelolaan HHBK secara terpadu dari hulu sampai hilir diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan pada gilirannya mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat sekitar hutan.
Sepertinya pengelolaan HHBK Indonesia masih perlu melakukan pembenahan yang begitu besar. Inventarisasi jenis HHBK yang telah dilakukan membuka kesempatan penelitian yang begitu banyak agar pengelolaan HHBK menjadi berbasis riset. Optimisme sangat diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaaan besar ini. Pendelegasian wewenang serta fokus penelitian HHBK dapat dilakukan oleh pemerintah (Departemen Kehutanan) bekerjasama dengan pemerintah daerah (otonomi daerah) sehingga pekerjaan besar tersebut dapat dipikul oleh seluruh pihak yang terkait. Dengan demikian HHBK akan membuka peluang pekerjaan yang besar baik ditinjau dari aspek sumberdaya manusia pekerja, peneliti, teknologi yang dikembangkan secara lokal dan nasional.

Comments