Skip to main content

Burung Juga Saling Pijat kalau Stres



KOMPAS.com — Bukan hanya manusia yang bisa saling memijat untuk menghilangkan pegal di badan. Beberapa spesies burung juga didapati saling memijat. Kegiatan ini kemungkinan berdampak positif, baik bagi pemijat maupun yang dipijat, untuk menghilangkan stres. Demikian hasil penelitian yang dilaporkan dalam jurnal Royal Society Biology Letters.
"Burung tampak paling menikmati pijatan ketika yang memijat adalah burung yang lebih superior," demikian tertera dalam laporan Andy Radford, peneliti asal School of Biological Sciences.
Ia menjelaskan bahwa burung yang bukan superior biasanya mengalami stres paling tinggi. "Ketika mereka dipijat oleh hewan yang lebih dominan, yang umumnya menebar ancaman, mereka akan merasa lebih rileks. Artinya mereka telah diterima sehingga mereka merasa aman," ujarnya.
Radford sendiri memfokuskan perhatiannya pada Phoeniculus purpureus, burung tropis besar yang berasal dari Afrika. Setelah mendapatkan perawatan pijat dari burung lain, hewan ini menurunkan tingkat aktivitas mereka dan merasa rileks dalam kondisi seperti mabuk kesenangan dalam waktu yang cukup lama. Penelitian mendapati tak hanya Phoeniculus purpureus yang melakukan hal seperti itu. "Spesies lain pun melakukan hal yang sama," kata peneliti.
Salah satu hal yang didapatkan dalam penelitian adalah, burung yang memijat pun merasa lebih rileks. Menurut Radford, seperti tertera dalam laporannya, ada tukar-menukar jasa di bidang lain. "Seperti makanan, toleransi, atau partisipasi di dalam konflik dalam kelompok atau dengan kelompok lain," ujarnya.
Radford dan timnya juga menemukan bahwa burung pemijat mengalami tingkat stres yang lebih rendah dalam jangka panjang dibanding mereka yang dipijat. "Merawat hewan lain juga bisa dianggap sebagai bentuk penghargaan diri," ujar Radford.
Penelitian lanjutan akan dilakukan untuk mengetahui apakah hal yang sama juga berlaku bagi primata, termasuk manusia. Jika yang dipijat pasti lebih lega, maka bagaimana dengan yang memijat? (National Geographic Indonesia/Abiyu Pradipa)



Comments