Skip to main content

Pohon Lebih Merana di Musim Dingin



KOMPAS.com - Pepohonan di kawasan barat laut Amerika Utara, yang merupakan kawasan dengan ukuran batang tertinggi di dunia, menghadapi ancaman besar, justru di musim dingin. Hal ini tidak sesuai dengan anggapan ilmuwan bahwa pohon lebih merana di musim panas.
Dari sebuah studi yang dilakukan, terungkap bahwa pepohonan di sana mengalami krisis air di musim dingin. Menurut peneliti dari Oregon State University dan US Forest Service, meski pepohonan itu berdiri tegak di sekitar kawasan danau, namun mereka tidak mendapatkan pasokan air karena aliran air membeku. Meski penyebabnya berbeda dengan krisis air di musim kering, hasil akhir krisis tersebut serupa.
"Semua orang mengira bahwa musim panas merupakan musim yang paling berat bagi pepohonan. Tetapi dari sisi air, musim dingin bahkan lebih menyulitkan para pohon," kata Katherine McCulloch, peneliti dari Oregon State University.
Pohon punya kemampuan lebih baik mengatasi kesulitan air di musim panas dibandingkan musim dingin. Saat musim panas, mereka menutup stomata (lubang pori-pori di daun atau bagian pohon lainnya), menyimpan air, dan mengurangi fotosintesis serta pertumbuhan.
Di kawasan perairan dengan curah hujan mencapai 2 meter per tahun, McCulloch dan timnya melihat pohon dengan xilem (selaput kayu) di cabang-cabang kecil di bagian atas tidak bisa menyalurkan air sebanyak ketika di musim panas. Ternyata siklus pembekuan dan pencairan air merupakan masalah terbesar dari transportasi air di dalam pohon.
Peneliti menyebutkan, studi semacam ini dinilai sangat penting untuk lebih memahami cara hutan bisa merespons iklim yang lebih hangat atau kering di masa depan. Meski kini peneliti mengetahui bahwa pohon lebih mampu bertahan dalam menghadapi musim kemarau dibanding perkiraan sebelumnya, namun belum tentu pohon bisa bertahan di masa yang akan datang.
"Jika iklim menghangat, kita kemungkinan akan mengalami siklus musim dingin yang lebih dingin," kata McCulloch. "Ada banyak variabel efek dari perubahan iklim yang sejauh ini belum bisa kita pahami," ucapnya.
Penelitian itu sendiri dilakukan di fasilitas penelitian Wind River Canopy Crane, dan hasilnya telah dipublikasikan di American Journal of Botany. (National Geographic Indonesia/Abiyu Pradipa


Comments