Skip to main content

Duplikasi Genom Mendorong Adaptasi Tanaman dengan Cepat




Selasa, 10 Mei 2011 - Tanaman beradaptasi dengan cuaca lokal dan kondisi tanah dimana mereka tumbuh, dan adaptasi lingkungan ini diketahui berevolusi dalam ribuan tahun saat mutasi perlahan menumpuk dalam kode genetik tanaman.
Namun seorang biologiwan Universitas Rochester telah menemukan kalau setidaknya beberapa adaptasi tanaman dapat terjadi hampir seketika, bukan lewat perubahan barisan DNA, namun semata dengan duplikasi bahan genetik yang telah ada. Penemuan Justin Ramsey ini diterbitkan dalam jurnal ilmiah Proceedings of the National Academy of Sciences.
Sementara hampir semua hewan memiliki dua set kromosom – satu set diwariskan dari ibu dan satu dari ayah – banyak tanaman bersifat poliploid, yang artinya mereka punya empat atau lebih set kromosom. “Sebagian ahli botani bertanya apakah poliploid memiliki sifat baru yang memungkinkan mereka bertahan terhadap perubahan lingkungan atau mengkoloni habitat baru,” kata asisten profesor Justin Ramsey. “Namun gagasan ini belum pernah diuji sebelumnya.”
Penanam tanaman sebelumnya telah menginduksi poliploidi pada tanaman pertanian, seperti jagung dan tomat, dan mengevaluasi konsekuensinya di rumah kaca atau kebun. Pendekatan eksperimental demikian tidak pernah dilakukan pada spesies tanaman liar, kata Ramsey, jadi tidak diketahui bagaimana poliploidi mempengaruhi kesintasan dan reproduksi tanaman di alam.
Ramsey memutuskan melakukan tesnya sendiri dengan mempelajari yarrow liar (Achillea borealis) yang umum ditemukan di pesisir Kalifornia. Yarrow dengan empat set kromosom (tetraploid) hidup di habitat lembab padang rumput di bagian utara daerah studi Ramsey; yarrow dengan enam set kromosom (heksaploid) tumbuh di habitat pasir di selatan.
Ramsey mentransplantasi yarrow tetraploid dari utara ke habitat selatan dan menemukan kalau yarrow heksaploid asli memiliki keunggulan kesintasan lima kali lipat dari yarrow tetraploid yang ditransplantasikan. Eksperimen ini membuktikan kalau tanaman selatan secara intrinsik teradaptasi dengan kondisi kering; walau begitu, tidak jelas apakah perubahan jumlah kromosom yang bertanggung jawab. Seiring waktu, populasi heksaploid alami dapat menumpuk perbedaan barisan DNA yang meningkatkan kinerja mereka di habitat kering dimana mereka sekarang tinggal.
Untuk menguji gagasan ini, Ramsey mengambil yarrow heksaploid mutan generasi pertama yang dipindai dari populasi tetraploid, dan mentransplantasikannya ke habitat berpasir di selatan. Ramsey membandingkan kinerja yarrow yang ditransplantasi dan menemukan kalau mutan heksaploid memiliki 70 persen keunggulan kesintasan daripada saudaranya yang tetraploid. Karena tanaman tetraploid dan heksaploid memiliki latar belakang genetik yang sama, perbedaan kesintasan mereka langsung dikarenakan jumlah set kromosom bukannya barisan DNA yang terkandung dalam kromosom.
Ramsey menawarkan dua teori untuk kesintasan tanaman heksaploid yang lebih tinggi. Mungkin isi DNA mengubah ukuran dan bentuk sel pengatur pembukaan dan penutupan pori kecil di permukaan daun. Hasilnya, laju lewatnya air di daun yarrow berkurang dengan peningkatan jumlah set kromosom (ploidi). Kemungkinan lain, menurut Ramsey, adalah penambahan set kromosom menghalangi pengaruh gen perusak tanaman, sama dengan yang menyebabkan cystic fibrosis dan penyakit genetik lain pada manusia.
“Kadang mekanisme adaptasi bukanlah perbedaan dalam gen,” kata Ramsey, “ia adalah perbedaan jumlah kromosom.” Sementara para ilmuan sebelumnya percaya kalau poliploidi berperan dalam penciptaan famili gen – kelompok gen dengan fungsi-fungsi berhubungan – mereka tidak yakin apakah duplikasi kromosom itu sendiri punya manfaat adaptif.
Sekarang, Ramsey mengatakan para ilmuan “harus memperhatikan lebih baik pada jumlah kromosom, bukan hanya sebagai mekanisme evolusi, namun sebagai bentuk variasi genetik untuk melestarikan tanaman langka dan terancam punah.”

Sumber berita :
University of Rochester.


Comments