Skip to main content

Kajian Ekologi Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica)



Mengetahui Kepunahan dan Dinamika perubahan Habitat Harimau Jawa

Sejak tahun 1980 Harimau jawa dinyatakan punah, kajian tersebut hanya terbatas pada penaksiran frekuensi perjumpaan dan tanda-tanda keberadaan satwa tersebut hingga pendalaman pada aspek habitat yang sudah mengalami tekanan sejak lama.  Pada dasarnya Harimau Jawa dapat hidup dengan baik pada kawasan hutan yang terkonsentrasinya satwa mangsa sebagai pakan utama, selain itu bentuk kelerengan yang datar dan penutupan vegetasi yang sesuai menjadi pertimbangan dalam pendugaan keberadaan harimau jawa.
Hipotesis ini tidak berlaku untuk kawasan habitat hutan yang terganggu seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian Yoan Dinata & Jito Sugardjito, 2008. Hasil ini juga didukung oleh penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa di samping variasi jenis vegetasi yang menjadi sumber pakan, kepadatan hewan mangsa juga bergantung pada tingkat kerawanan kawasan hutan terhadap perburuan. Santiapilai dan Ramono (1993) dalam (Yoan Dinata Dan Jito Sugardjito, 2008) menambahkan bahwa hutan-hutan dataran rendah lebih mendukung kehidupan biomasa ungulata besar, tetapi hutan dataran rendah yang kaya mangsa menghilang begitu cepat, sehingga distribusi hewan-hewan ungulate tersebut menjadi terbatas dan bahkan akan melakukan migrasi ke daerah perbukitan dan pegunungan. (Yoan Dinata & Jito Sugardjito, 2008)
Saat kabar punahnya harimau Jawa, konsentrasi penelitian saat ini hanya pada pndugaan-pendugaan keberadaan satwa tersebut yang masih tersisa pada kawasan yang sangat sulit dijangkau. Sedangkan kajian terhadap dinamika dan perubahan habitat satwa Harimau Jawa masih sangat minim. Dinamika dan perubahan habitat Harimau Jawa dapat diketahui dengan perbandingan kondisi alam saat populasi Harimau Jawa mendapatkan kesetabilannya berbanding lurus dengan jumlah satwa mangsa. Sedangkan tekanan dan kerusakan sebagai salah satu dinamika habitat akibat adanya tekanan manusia dapat diketahui dengan transisi perubahan kawasan hutan menjadi kawasan lain yang berbanding terbalik dengan luasan habitat harimau dengan kawasan yang terganggu.
Saat pemerintahan kolonial Belanda kita ketahui bahwa perubahan bentuk kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan, pertanian dan pemungkiman sudah berlangsung sejak lama. Dengan kemampuan adaptasi Harimau Jawa inilah yang mengakibatkan sejak tahun 1980-an satwa Harimau Jawa sulit ditemukan. Sejak zaman penjajahan ini perubahan kebudayaan dan cara pengelolaan sumberdaya alam semakin moderen. Dengan datangnya teknologi terbaharukan yang dibawa oleh pemerintahan kolonial, perubahan bentuk kawasan hutan menjadi kawasan lain berlangsung semakin cepat.
Gejolak tekanan ekologi ini terkonsentrasi di pulau Jawa, kota-kota yang dibangun oleh pemerintahan kolonial semakin berkembang sangat pesat. Kemajuan teknologi ini pula yang mempermudah akses masyarakat pada kawasan-kawasan hutan yang semula sulit dijangkau. Hingga kemudian datangnya masa dimana kondisi nasib Harimau Jawa seperti yang terjadi pada Harimau Sumatra pada saat ini.
Pembangunan perkotaan diawali di daerah dataran rendah yang cenderung memiliki kemiringan yang datar. Selain itu sebagai salah satu syarat menjadikannya pemungkiman-pemungkiman serta lahan pertanian dan perkebunan adalah sumberdaya air yang berlimpah. Dengan demikian sudah tidak asing kawasan hutan yang pada saat ini masih ada hanya terbatas pada daerah dataran tinggi hingga pegunungan yang sulit dijangkau.
Kajian tersebut erat kaitannya terhadap populai satwa yang menjadi mangsa Harimau Jawa, bagaimana tingkat populasi beberapa satwa mamalia seperti Babi Hutan, Kijang dan beberapa satwa Reptilia kemudian beralih pada kawasan hutan dataran tinggi yang cenderung sangat sukar untuk dijadikan tempat hidup yang lebih layak jika melihat pada aspek Klimatis dan topografi.
Memasuki abad ke 20 perkebunan dan lahan pertanian sudah mulai menekan daerah perbukitan, satwa Babi Hutan dan Kijang yang mencari pakan di kawasan tersebut seing dianggap sebagai hama. Hal ini merupakan akibat dari pembangunan perkotaan yang semakin pesat pula terhadap tata guna lahan yang semakin tinggi dan tidak terkendali. Luasan sawah di dataran rendah sudah semakin tertekan oleh pemungkiman dan infrastruktur hingga beralih tempat pada pedesaan yang ada di daerah perbukitan.
Dengan semakin terganggunya satwa mangsa sebagai salah satu akbat asumsi hama tanaman pertanian juga kebudayaan perburuan oleh para peladang dan petani maka tekanan ekologi di kawasan ini semakin berat. Jumlah populai mamalia ini semakin berkurang dan berbanding lurus pula terhadap penurunan jumlah populai Harimau Jawa yang tersisa akibat ketersediaan habitat yang semakin sempit.
Kejadian serupa terjadi pada Macan Tutul, namun secara biologis Harimau Jawa memerlukan nutrisi makanan yang bobotnya lebih tinggi dibandingkan dengan Macan tutul sehingga peluang akan persaingan semakin renggang dengan kebutuhan yang berbeda ini. Namun hal tersebut hanya terbatas pada ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan oleh Harimau Jawa sebanding dengan luasan territorial untuk mencari mangsa. Namun, kembali pada kondisi habitat yang tersedia saat ini pula. Yaitu dataran tinggi yang cenderung memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang lebih rendah untuk satawa mangsa sehingga ketergantungan jumlah populasi satwa mangsa tidak secara utuh jika dibandingkan dengan kawasan hutan di dataran rendah.

Comments